Selasa, 28 Juli 2015

Isu Dana Aspirasi DPR

PRIBUMINEWS – Presiden Joko Widodo jangan melanggar undang-undang (UU) agar republik ini tidak gaduh lagi. Hakikat pelaksanaan Pasal 78 dan Pasal 80 huruf (J) UU MD3 adalah kewajiban pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden bisa dikenai dakwaan melanggar UU jika tidak mengakomodasi kebutuhan DPR melaksanakan UU No. 17/2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) itu.

Rapat Paripurna DPR, Selasa 23 Juni 2015, menyetujui Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) yang popular dengan sebutan dana aspirasi. Persetujuan Paripurna DPR itu langsung memancing pro kontra. Selain reaksi dari publik, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla,  Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago serta Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, juga angkat bicara.

Wapres dan ketiga menteri itu cenderung menolak dana untuk membiayai UP2DP itu. Lantas, bagaimana sikap dan posisi Presiden Jokowi? Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari Presiden tentang dana untuk UP2DP itu. Menteri Pratikno dan Menteri Andrinof memang sudah membuat pernyataan tentang kecenderungan Presiden menolak pengalokasikan dana aspirasi.

Menteri Pratikno hanya mengutip imbauan Presiden yang minta semua pihak untuk prihatin dengan kondisi masyarakat saat ini. Penegasan ini  diartikan sebagai sinyal penolakan Presiden terhadap dana aspirasi usulan DPR itu.

Tetapi, baik penjelasan Pratikno maupun pernyataan Menteri Adrinof belum bisa dijadikan pegangan, karena publik sudah tahu bahwa presiden sering berbeda pendapat dengan Wapres maupun para menteri. Demi kejelasan masalah ini, Presiden Jokowi harus memperjelas sikap dan posisinya. Karena itu, semua pihak hendaknya menunggu kejelasan dari Presiden.

Belum finalnya sikap Presiden pun tercermin dari pernyataan Menteri Keuangan yang coba mengambil jalan tengah. Menteri Bambang menyatakan bahwa pemerintah akan mengambil sikap setelah mempelajari proposal dana UP2DP.

Pemahaman tentang manfaat dana aspirasi sudah melenceng terlalu jauh. Agenda UP2DP bagi setiap anggota DPR adalah tindak lanjut sekaligus pelaksanaan dari UU MD3. Lahirnya UP2DP itu sendiri menjadi kehendak pasal 78 dan pasal 80 UU No.17/2014 itu. Pasal 78 UU MD3 menyangkut sumpah jabatan anggota dewan. Bunyinya, “Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan NKRI.”

Sedangkan pasal 80 huruf (J) UU yang sama menetapkan bahwa anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Konsekuensi pasal ini tentu keharusan pemerintah mengalokasikan dana UP2DP itu.

Selain pengawasan, persetujuan anggaran, dan pembuatan undang-undang atau legislasi sebagai tugas pokok dan fungsi (tupoksi), salah satu kewajiban lain dari anggota DPR adalah mendengar dan memperjuangkan aspirasi rakyat kepada Pemerintah.

Seperti halnya pejabat pemerintah atau para menteri, setiap kali melakukan kunjungan ke daerah pemilihan, semua anggota DPR pasti pernah menerima keluhan dan permintaan dari masyarakat. Keluhan dan permintaan masyarakat setempat itu selalu dituangkan dalam bentuk proposal.

Tidak berlebihan atau mengada-ada, muatan proposal itu selalu berkait dengan kebutuhan dasar masyarakat setempat, seperti perbaikan jalan atau jembatan, renovasi bangunan sekolah, kebutuhan air bersih, problem jaringan listrik hingga pusat layanan kesehatan.

Proposal dengan muatan seperti itu dititipkan ke anggota DPR karena masyarakat sadar betul mereka tidak punya akses untuk bersuara langsung kepada pemerintah.  Betul bahwa tak jauh dari masyarakat setempat, ada pemerintah daerah atau provinsi. Masalahnya, pemerintah setempat begitu sering meremehkan keluhan atau permintaan masyarakat.

Jangankan di pelosok daerah, masyarakat perkotaan sekali pun sering mengeluhkan perilaku pemerintah daerah yang bersikap masa bodoh dengan keluhan dan permintaan masyarakat. Tak usah jauh-jauh mencari perbandingan; masyarakat yang bermukim di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi nyatanya begitu sering mengecam pemerintah daerahnya karena ruas jalan yang sudah rusak selama bertahun-tahun tak pernah diperbaiki.

.

Malas Mengawasi

Konsekuensi logis lainnya adalah pemerintah tidak bisa begitu saja menolak kebutuhan dana anggota DPR untuk membiayai UP2DP itu. Inisiatif DPR ini bukan sesuatu yang dipaksakan, melainkan titah UU. Rasanya menjadi sangat berlebihan jika Presiden dan para menteri harus diingatkan lagi tentang aspek legal-konstitusional UP2DP ini. Payung hukum UP2DP adalah UU No. 17/2014 tentang MD3 itu.

Karena itu, baik pernyataan Menteri Pratikno maupun Menteri Adrinof sebenarnya agak tendensius. Bahkan cenderung sebagai upaya menjerumuskan Presiden. Secara tidak langsung, Presiden didorong untuk melanggar UU No.17/2014 tentang MD3 itu. Kalau sampai pelanggaran UU itu akhirnya benar-benar terjadi, konsekuensinya jelas bahwa Presiden akan berhadap-hadapan langsung dengan DPR.

Pernyataan kedua menteri itu juga bisa disebut sebagai perilaku tak terpuji karena keduanya sudah berupaya membentuk asumsi atau pendapat umum bahwa Presiden sudah pasti menolak dana aspirasi anggota DPR.  Kalau asumsi publik sudah dibentuk seperti itu, posisi Presiden akan sangat dilematis ketika tiba waktunya untuk menentukan sikap finalnya. Kalau menolak DPR akan bereaksi dengan tuduhan melanggar UU.  Sedangkan kalau menyetujui pun akan mengecewakan dan membingungkan publik yang opininya sudah terlanjur dibentuk.

Demi kepastian sekaligus menghindari kegaduhan, pemerintahan Presiden Jokowi dan DPR harus melaksanakan UU MD3, khususnya Pasal 78 dan Pasal 80 huruf (J). Selama kampanye menuju pemilihan presiden hingga pelantikannya, Presiden Jokowi berulangkali berjanji untuk selalu taat dan setia kepada UUD 1945, termasuk melaksanakan UU. Janji ketaatan dan kesetiaan yang sama pun diucapkan anggota DPR RI saat mengucapkan sumpah/janji sebagai anggota DPR. Masing-masing pihak pun tahu betul risiko melanggar UU. Jadi, jangan coba-coba melanggarnya.

Oleh karena itu, para menteri hendaknya tidak terburu-buru dalam bersikap. Para pembantu Presiden perlu memahami UP2DP secara utuh dan komprehensif. Dana Rp20 miliar itu tidak keluar dari struktur APBN. Pun tidak ada upaya DPR mengambilalih peran pemerintah dalam perencanaan pembangunan. Konsep UP2DP hanya usulan program berbasis daerah pemilihan yang justru bisa membantu visi dan misi Presiden tentang pemerataan pembangunan.

Alasan utama para menteri dan juga sebagian masyarakat menolak UP2DP adalah kekhawatiran dana itu dikorupsi. Kalau kekhawatiran itu yang dijadikan alasan utama menolak dana aspirasi, berarti pemerintah masih tetap dengan perilaku lama, yakni malas melakukan pengawasan. Tema pengawasan yang sering didengungkan hanya menjadi sarana pencitraan.

Peluang menyalahgunakan dana aspirasi nyaris tidak ada. Pertama, karena dana itu dipaku dalam struktur APBN. Kedua, karena pemanfaatannya diawasi langsung oleh masyarakat setempat.  Kalau pemerintah tidak malas, instrumen pengawasan masih ditambah lagi dengan melibatkan inspektorat jenderal pada setiap pemerintahan provinsi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tingkat provinsi. Kalau perlu, pengawasan atas pemanfaatan dana aspirasi DPR juga melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kredibilitasnya sudah teruji.

Argumen para menteri bahwa dana aspirasi rawan dikorupsi sebenarnya menjadi bentuk lain dari pengakuan pemerintah bahwa pengawasan pembangunan masih jauh dari efektif. Untuk menutup-nutupi kemalasan dan ketidakmampuan melakukan pengawasan itu, dipilih jalan pintas dengan upaya menolak dana aspirasi anggota DPR.

Perilaku malas dan ketidakmampuan bisa ditutupi dengan cara apa pun. Namun, kemalasan dan ketidakmampuan itu tidak boleh mengorbankan kepentingan orang banyak.

.

Referensi :


[1] http://pribuminews.com/16/07/2015/anggota-dpr-bamsoet-pokoknya-presiden-harus-setujui-dana-aspirasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar